Minggu, 24 Mei 2015

DACTYLOSCOPY




 
MAKALAH KRIMINALISTIK
“DACTYLOSCOPY”








Disusun Oleh:
Rifan Takaliuang/13400041 
Fitra Ayuwandika/13400026
Margritje M Pau/13400008
Aristo Wehantouw/14300004
Venly Tamaka/13400023
Christovel Tima/13400054


Universitas Pembangunan Indonesia
Fakultas Hukum Semester III
MANADO - 2014



KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dactyloscopy(sidik jari)” dalam mata kuliah Kriminalistik dengan baik. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pencarian data dan bahan ajar, namun kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami memohon maaf atasnya.Kami menyadari bahwa kami jauh dari kesempurnaan. Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

                                                                                                Manado,November 2014
                                                                                                          Kelompok III


BAB  I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Hukum adalah gabungan dari peraturan-peraturan yang hidup dan bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
Pada hakikatnya, "Kejahatan itu sebenamya merupakan gejala sosial yang cukup melelahkan dikalangan masyarakat bila tidak ditanggulangi dengan serius akan menimbulkan dampak yang merugikan terhadap ketentraman dan rasa tidak nyaman akan selalu menghantui setiap warga. Kejahatan juga menunjuk kepada tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda, fisik, bahkan kematian seseorang".[1]
Penegakan hukum merupakan proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai pada pembuatan hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan perekonomian dewasa ini. Hal ini menuntut peran masyarakat dalam berinteraksi sosial semakin memngkat, oleh karena itu tentunya aktivitas-aktivitas yang ada menjadi beragam, bahkan memancing adanya tindak kriminalitas yang terjadi di setiap harinya. Peran penegak hukumjelas-jelas tidak akan bisa lepas dari hal ini, sehingga menuntut diciptakaimya berbagai macam peraturan untuk dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat.
"Secara konseptual hukum pidana merupakan ultimum remedium (the last resort - sarana pamungkas) dalam penggunaannya sebagai sarana penanggulangan problema sosial berupa kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu konsep dan kategori perilaku manusia merupakan salah satu tema sentral di dalam hukum pidana. Posisi hukum pidana di pandang sebagai subsider, yang membawa konsekuensi bahwa pemerintah seharusnya mendahulukan penggunaan sarana hukum lain selain pidana".[2]
Dengan kata lain sebelum pemerintah memberlakukan hukum pidana dalam menyelesaikan suatu problem yang terjadi dalam masyarakat, sebaiknya menggunakan hukum lain terlebih dahulu seperti hukum perdata dan hukum admmistrasi, apabila hukum-hukum tersebut tidak mampu, barulah hukum pidana diberlakukan. Jadi di sini berkaitan dengan langkah-langkah kriminalisasi.
Dalam pelaksanaan hukum pidana, faktor perkembangan masyarakat dapat digunakan untuk mendatangkan keputusan hukum yang dapat memberikan keputusan yang adil dan kebenaran sejati pada semua pihak.
Mencari kebenaran atas semua peristiwa yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu adalah sulit dan tidak mudah karena dalam suatu peristiwa sering terjadi adanya kekurangan, dan tidak lengkapnya suatu alat bukti maupun saksi, sehingga para petugas penyidik harus bekerja lebih keras dalam mengumpulkan bukti-bukti yang sah untuk mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dalam mengusut atau menyelidiki suatu tindak pidana yang sebenamya. Dalam pembuktian acara pidana setidak-tidaknya harus terdapat dua alat bukti yang sah sebagai dasar rnenjatuhkan pidana bagi terdakwa (Pasal 183 KUHAP).
Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
1.    Keterangan saksi;
2.    Keterangan ahli;
3.    Surat;
4.    Petunjuk;
5.    Keterangan terdakwa.[3]
Alat bukti tersebut merupakan suatu alat untuk membuktikan, suatu upaya untuk dapat menyelesaikan hukum tentang kebenaran dalil-dalil dalam suatu perkara yang pada hakikatnya harus dipertimbangkan secara logis. Dalam contoh kasus tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, petugas penyidik menggunakan beberapa metode pencarian barang bukti; salah satunya adalah melalui Dactyloscopy (ilmu tentang sidik jari) yaitu suatu hasil reproduksi tapak-tapak jari, yang menempel pada barang-barang di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Kata Dactyloscopy berasal dari bahasa Yunani; Dactylos yang berarti jari dan Scopium yang berarti melihat, meneliti, mempelajari. Pertama kali di kembangkan oleh Francis Galton, yang pada tahun 1888 mengadakan kerjasama dangan Sir William Herschell melakukan penyelidikan secara ilmiah mengenai pola-pola garis-garis jari dan menyusun satu sistem untuk membagi-bagi dan mengenai jenis orang.
"Diperlihatkan, bahwa sidik jari itu lebih dari sifat ilmu urai (morphologie) dan dikemukakannya empat hal terpenting untuk dapat menegaskan identitas seseorang: tetap, tegas, berbagai ragam dan mudah untuk mendaftar dan menyusun"[4]
Pembuktian dengan menggunakan metode Dactyloscopy memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain, salah satunya adalah bahwa sidik jari seseorang bersifat permanen, tidak berubah selama hidupnya, gambar garis papilernya tidak akan berubah kecuali besarnya saja, selain itu juga memiliki tingkat akurasi paling tinggi di antara metode lain, maka baik pelaku, saksi, maupun korban tidak dapat mengelak. Tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan keterangan palsu kepada penyidik dalam mengungkap tindak pidana.
"Pemakaian sidik jari untuk identifikasi telah berkembang di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju. Keringat yang terdapat ditelapak dan jari-jari akan menimbulkan jejak pada objek yang dipegang atau disentuh. Berkaitan dengan itu maka Dactyloscopy atau ilmu tentang sidik jari telah mendesak metode identifikasi lainnya karena sangat praktis dan akurat"3[5]
Pengetahuan tentang sidik jari latent bagi masyarakat umum masih terbilang asing dan belum banyak orang yang mengetahui tentang kegunaan dan sidik jari dalam mengungkap suatu tindak pidana bukanlah suatu hal yang berlebihan, karena dapat kita lihat bahwa dalam kenyataannya proses pengungkapan kasus di negeri ini belumlah terbiasa menjadikan sidik jari latent sebagai alat bukti yang diharuskan kehadirannya pada proses persidangan, di lain sisi kejahatan terus-menerus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat dan tekhnologi yang membuat para pelaku kejahatan semakin lihai dalam memutar balikkan kebenaran yang ada dan membuat bingung para penegak hukum.
Pelaku kejahatan berusaha:
1.    Hindari orang yang melihat,
2.    Hilangkan barang-bukti,
3.    Usaha lain untuk tidak diketahui orang lain[6].
Maka dari itu kita sebagai masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum khususnya dirasa perlu mempelajari setidaknya mengetahui tentang ilmu sidik jari dan turut bekerja sama dan berperan aktif dalam rangka penanggulangan tindak pidana yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: "FUNGSI DACTYLOSCOPY BAGI PENYIDIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA"
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang;
A.    Pengertian dactyloscopy.
B.     Sejarah Dactyloscopy..
C.     Bentuk-bentuk pokok sidik jari.
D.    Pengambilan sidik jari pada mayat.









BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dactyloscopy ( Sidik Jari)
Dactyloscopi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Dactilos artinya “jari” dan scopein artinya melihat/memperhatikan. Dactyloscopy artinya mengelolah garis-garis kulit yang terdapat pada telapak jari,telapak tangan dan telapak kaki manusia untuk tujuan penyidikan kejahatan dan identifikasi manusia.  Sidik jari adalah hasil reproduksi telapak jari yang sengaja diambil dengan memakai tinta dactyloscopy atau bahan lainnya dan dicapkan diatas permukaan tertentu.  Jejak jari adalah bekas-bekas telapak jari seseorang yang tertinggal pada benda-benda tersebut sebelumnya pernah tersentuh dan terpegang dengan kulit telapak tangan/jari.  Garis-garis Papiler ialah garis-garis halus yang menonjol yang satu dengan lainnya dibatasi oleh celah /alur dan membentuk lukisan tertentu yang terdapat pada kulit/telapak tangan dan kaki. Keterbalikan/kekeliruan arah dan warna adalah bila terjadi tonjolan-tonjolan garis papiler kulit telapak jari tersebut berwarna putih/terang dan celah-celah diantara dua garis papiler berwarna hitam maka dikatakan telah terjadi keterbalikan/kekeliruan warna.[1]
Pola sidik jari selalu ada dalam setiap tangan dan bersifat permanen. Dalam artian, dari bayi hingga dewasa pola itu tidak akan berubah sebagaimana garis tangan. Setiap jari pun memiliki pola sidik jari berbeda. Ada empat pola dasar Dermatoglyphic tentang sidik jari yang perlu diketahui, yakni Whorl atau Swirl, Arch, Loop, dan Triradius. Selain itu hanyalah variasi dari kombinasi keempat pola ini. Setiap orang mungkin saja memiliki Whorl, Arch, atau Loop di setiap ujung jari (sidik jari) yang berbeda, mungkin sebuah Triradius pada gunung dari Luna dan di bawah setiap jari, dan kebanyakan orang ada juga yang mempunyai dua Whorl atau Loop di tangan lainnya. Pola-pola dapat juga ditemukan pada ruas kedua dan ketiga di setiap jari.
·         Whorl Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl adalah titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah. Cetakan Spiral dan Bulls-eye adalah persis sebangun dalam interpretasinya, namun yang kedua memberikan sedikit lebih banyak fokus.
·         Arch Pola ini bisa terlihat sebagai sebuah Flat Arch, atau Tented Arch. Perhatikan setiap pola Arch menaik sangat tinggi.
·         Loop Loop dapat menaik ke arah ujung jari, atau menjatuh ke arah pergelangan tangan. Common Loop bergerak ke arah ibu jari, sementara Radial Loop (Loop terbalik) bergerak mengarahkan ujung pemukulnya ke sisi lengan.
a.       Loop Umum (Common Loop) Tipe paling umum dari sidik jari adalah Common Loop. Cetakan ini mengungkap kemampuan untuk menggunakan berbagai ide dari berbagai sumber ide, dan mencampurnya dengan gaya yang unik.
b.       Loop Memusat (Radial Loop) Sebuah cetakan menukik yang memasuki dan berangkat dari sisi ibu jari tangan disebut Radial Loop (kadang-kadang disebut Reverse Loop, atau Inventor Loop). Jika Common Loop menunjukkan campuran gaya-gaya lain, Radial Loop mengungkapkan kemampuan untuk menciptakan sebuah gaya atau sistem yang sama sekali baru.[2]
c.        Double Loop Double Loop kebanyakan disalahpahami oleh hampir semua penandaan Dermatoglyphic. Pada umumnya, menginterpretasikan Double Loop sama seperti dengan Whorl.
·         Triradius Triradius (juga disebut “Delta”) dapat digunakan untuk menunjuk dengan tepat pusat dari setiap gunung. Gunung-gunung itu kemudian bisa dilihat sebagai terpusat, kecenderungan, atau berpindah.
B. Sejarah Dactyloscopy (Sidik Jari)
Perkembangan identifikasi sidik jari tidak lepas dari penelitian, berikut ini para penemu, peneliti, dan sejarah pemakaian indentifikasi sidik jari:
1.      Marcello Malpighi (1686) adalah seorang profesor anatomi pada Universitas Bologna, dia menulis dalam sebuah karya tentang ridges, spirals dan loops pada sidik jari.
2.       John Evangelist Purkinje (1823) adalah seorang profesor anatomi pada Universitas Breslau, dia mempublikasikan tentang sembilan pola sidik jari, namun dia tidak melanjutkan untuk mempelajari sidik jari.
3.      Sir William James Herschel (1858) adalah seorang Magistrate of the Hooghly district diJungipoor, India. Dia mengadakan perjanjian dengan salah seorang pengusaha bernama Rajyadhar Konai dengan menggunakan sidik jari sebagai personal identification pengganti tanda tangan.
4.      Dr. Henry Faulds (1870) adalah seorang ahli bedah Inggris yang bekerja sebagai Kepala Tsukiji Hospital di Tokyo. Dia tidak hanya mempelajari sidik jari untuk kepentingan identifikasi, namun juga menciptakan metode untuk mengklasifikasikannya.
5.      Gilbert Thompson (1882) adalah seorang ahli geologi Amerika yang bekerja di New Mexico, dia yang memperkenalkan pengetahuan tentang identifikasi sidik jari di Amerika Serikat.
Sejarah Dactiloscopy di Indonesia.
Ilmu sidik jari di Indonesia khususnya di kalangan kepolisian [harus dicek kebenarannya] dirintis oleh seorang desertir SS Nazi Jerman yang lari ke Belanda dan kemudian ditempatkan di Makassar oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai perwira polisi. Setiap taruna Akpol di Indonesia mengenal namanya sebagai perintis sidik jari di kalangan kepolisian Indonesia. Nama desertir SS Nazi tersebut adalah Gustav Poppeck, mertua kedua pelukis maestro S.Sudjojono. Gustav Poppeck dimamakamkan di TPU Menteng Pulo.
C. Bentuk-bentuk Pokok Sidik Jari.
1.      Sidik Jari Dikelompokan Dalam 3 Golongan Besar
a)      ARCH “BUSUR” : Bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya datang dari satu sisi lukisan , mengalir atau cenderung mengalir kesisi lain dari lukisan itu, dengan bergelombang naik di tengah-tengah.
b)      LOOP “SANGKUTAN” : Bentuk pokok lukisan sidik jari dimana satu garis atau yang lebih datang salah satu pinggir lukisan,melengkung dan menyentuh garis khayal yang menghubungkan delta dan lengkung dan mencore “titik pusat” dan berhenti atau cenderung kembali kesisi datangnya semula.
c)      WHORL “LINGKARAN” : Bentuk pokok lukisan sidik jari yang mempunyai paling sedikit dua delta dengan satu atau lebih garis melengkung atau melingkar dihadapan kedua delta.[3]
Bentuk lukisan ini terdiri dari : PLAIN WHORL, CENTRAL FOCKER LOOP ‘SAKU TENGAH’ DOUBLE LOOP WHROL,SANGKUTAN KEMBAR DAN ACCI DENTAL LUKISAN ISTIMEWA.
2.      Karakteristik Sidik Jari.
Bentuk Pokok sidik jari seperti diuraikan diatas bisa saja sama pada seorang dengan orang lainnya, atau pada jari satu dengan jari lainnya dari satu orang. Tetapi kalau sidik jari itu diambil sungguh-sungguh ternyata posisi pada setiap jari disebut juga karakteristik garis-garis jari atau “GALTON DETAIL” dan berbentuk sebagai berikut:
Ø  Garis membelah (Bifurcaton)
Ø  Garis yang mendadak berhenti (Ridge Ending)
Ø  Pulau (Island)
Ø  Titik (dot)
Ø  Garis Pendek (shart ridge)
Ø  Jembatan (bridge)
Ø  Taji(Spur)
3.      Perumusan Sidik Jari
1)      RUMUS PERTAMA ialah nilai dari WHROL = 1/1 s/d 32/32 ialah Whrol kolom ganjil jumlahnya dan ditambah satu untuk penyebut.Whrol kolom genap jumlahnya dan ditambah satu untuk pembilang.
2)      RUMUS KEDUA ialah huruf besar : A-T-R-U-W untuk telunjuk kanan/kiri ; Huruf kecil: a-t-r Untuk lain-lain jari . :a-t-r menghapus rumus ketiga.
3)      .RUMUS KETIGA ialah untuk jari-jari telunjuk, tengah dan manis. Jika Loop = I-O; Jika worl = I – M – O.
4)      RUMUS KELIMA ialah: JEMPOL – Hitungan garis LOOP : S – M – L Mengikuti garis whorl : I – M – S
5)      RUMUS KELIMA ialah: KELINGKING – Hitungan garis loop/Whrol = 1 dst.
6)      RUMUS KEENAM ialah: KUNCI : Hitungan garis loop pertama keduakali kelingking.
4. Pengambilan Sidik Jari.
            Pengambilan sidik jari dilakukan dengan merekam sidik jari pada sehelai kartu sidik jari yang mempunyai kolom-kolom untuk sidik jari, kolom untuk pencatatan identitas dan keterangan lain yang berhubungan. Hasil pengambilan sidik jari harus baik sempurna, yaitu garis-garis papiler harus terlihat jelas, terutama karakteristik garis papiler yang disebut delta dan core titik pusat.
1.      Peralatan yang digunakan/diperlukan.
a.       Tinta Dactiloscopy, sejenis tinta cetak hitam yang dicampur dengan minyak sehingga tinta cepat kering.
b.      Plat kaca ukuran 12x28 cm, tempat tinta dactiloscopy.
c.       Roller, sepotong karet bulat berdiameter  +/- 2 cm dan panjang +/- 5 cm yang digunakan untuk meratakan tinta.
d.      Penjepit kartu sidik jari, yang digunakan untuk menjepit kartu sidik jari agar tidak bergeser saat pengambilan sidik jari dilakukan.
e.       Kartu sidik jari, dibuat dari kertas tebal licin berukuran 20x20 cm.
2.      Prosedur pengambilan Sidik Jari.
a.       Tuangkan sejumlah tinta dactiloscopy diatas plat kaca kemudian ratakan dengan ruller, usahakan tinta tidak terlalu tebal.
b.      Formulir kartu sidik jari diberikan kepada orang-orang yang hendak diambil sidik jarinya untuk diisi identitasnya sedangkan petugas mengisi tanggal pengambilan sidik jari nama dan tanda tangan sendiri pada kolom yang tersedia.
c.       Tempatkan kartu Ak23 pada penjepit kartu sedemikian rupa sehingga kolom untuk jari tangan kanan yang digulingkan siap untuk dipakai.
d.      Penganglah tangan kanan orang yang bersangkutan, periksa jari tangannya jika basah dan kotor brsihkan dahulu.
e.       Mintalah orang-orang tersebut  sesantai mungkin peganglah ibu jari tangan kanan orang tersebut dengan tangaan tangan gulingkan jari tersebut pada tepi plat kaca yang telah bertinta mulai dari sisi kuku yang satu ke sisi kuku yang lain.
Teknik pengambilan dengan memutar jari kedalam.
f.       Jari-jari tangan kanan yang telah bertinta digulingkan hanya sekali pada kartu Ak 23 sesuai dengan kolomnya.
g.      Geser kartu Ak23 sedemikian rupa sehingga kolom untuk jari-jari kiri siap digunakan. Teliti hasil pengambilan sidik jari tersebut sebelum orang yang bersangkutan membersihkan tangannya.
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kesempurnaan pengambilan sidik jari.
a.       Tinta yang digunakan digulingkan pada plat kaca tidak rata/ tidak cukup.
b.      Jari-jari yang digulingkan secara penuh baik pada plat kaca maupun kartu Ak 23.
c.       Jari-jari bergeser ketika digulingkan/ ditekan pada kartu Ak 23.
d.      Terlalu banyak tinta.
D. Pengambilan Sidik Jari Mayat.
Pengambilan sidik jari pada mayat lebih sulitdari pada pengambilan sidik jari biasa. Dibutuhkan ketelitian, ketekunan dan kesabaraan serta keberanian.
1.      Mayat dibagi tiga golongan;
a.       Mayat yang masih baru (baru saja meninggal).
b.      Mayat yang telah kaku dan mulai membusuk (awal dekomposisi).
c.       Mayat yang telah membusuk (dekomposisi), mengering (mumifikasi) terendam air (medok).
2.      Peralatan yang digunakan/diperlukan
a.       Formulir Ak 23
b.      Sendok mayat (Post Morfem Finger Print spoon)
c.       Alat pembuluh tinta
d.      Alat suntik
e.       Cairan pengembang jari mayat
f.       Cairan pembersih alat suntik
g.      Sarung tangan karet
3.      Cara pengambilan sidik jari mayat
a.       Mayat yang masih baru (baru saja meninggal)
Bila jari mayat masih dapat digerakan, maka caranya mayat ditelungkupkan lalu pengambilan sidik jari dilakukan secara biasa.
b.      Mayat telah kaku dan baru mulai membusuk
Bila jari mayat massih dapat menggenggam maka pengambilan sidik jari mayat dilakukan secara;
-          Tarik jari mayat hingga lurus kemudian pengambilan dilakukan dengan sendok mayat.
-          Jika jari sulit diluruskan sayatlah bagian dalam jari pada ruas kedua sehingga jari dapat diluruskan. Untuk ibu jari sayatlah antara ibu jari dengan telunjuk.
Bila mayat baru mulai membusuk biasanya kulit sudah terlepas ;
-          Periksalah kulit tersebut apakah masih baik atau ada bagian yang rusak
-          Kulit dipasang kembali atau dipasang kembali atau dimasukan kedalam jari petugas sehingga pengambilan dapat dilakukan
-          Jika kulitnya sudah terlepas sama sekali, maka kulit dioleskan tinta lalu ditekan/diapit dua kata dan dipotret, kemudian hassil pemotretan ditempel pada formulir Ak 23
c.       Mayat yang telah membusuk(dikomposisi), pengeringan (mumifikassi) dan perendaman (medok)
-          Periksa apakah jari mayat masih lengkap, pakah hilang pada waktu masih hidup atau telah dimakan binatang (cacat dalam formulir AK23)
-          Bersihkan  kotoran atau bahan asing yang terdapat pada kulit jari secara hati-hati
-          Kulit jari dioleskan tinta dan dijepit diantara dua kaca dan dipotret. Hasil pemotretan ditempelkan pada formulit Ak 23
Pengambilan sidik jari mayat tak dikenaal dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi mayat tersebut , dengan cara membandingkan sidik jari mayat tak dikena itu dengan sidik jari seseoraang yang telah diketahui.
Sidik jari orang yang telah diketahui dpat diperoleh melalui :
-          Pecarian file
-          Pengecekan terhadap laporan oraang hilang

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dengan mempelajari seluk beluk dactyloscopy ( Sidik Jari), kami dapat mengetahui kelebihan dan keguanaan dari pada sidik jari dalam penyidikan kriminalistik
B.     Saran.
Sebagai mahasiswa fakultas hukum lebih banyak belajar tentang ilmu kriminalistik lebih khusus ke arah Dactyloscopy atau ilmu sidik jari.








DAFTAR PUSTAKA
Arikunlo. Suharsimi, 1989, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung.
Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Radja Giafindo Persada, Jakarta.
Hadi, Sutrisno, 1989, Metodologi research I, Audi Offset, Surabaya.
Hainzah, Audi, 1984, Huhum Acara Pidana, Sapilia Artha Jaya, Jakarta.
I Ketut, Murtika, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta.
Lamintang, 1982, Dasar-Dasar Pidana Indonesia, Cetakan I, Sinar Baru, Bandung.
M Karjadi, 1976, Sidik Jari Sistem Henry, Sistem Baru Yang Diperluas, Politeia, Bogor.
Moelyatno, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta
Prakoso, Djoko, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung.
Purnomo, Bambang, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekamto, Soerjono, 1990, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.


[1] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992, hal 5
[2] Natangsa Surbakti, Kembang Setaman Kajian Filsafat Hukum, Surakarta, UMS, hal. 80
[3] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Aneka Ilmu, Semarang, 1984, hal. 82
[4] Karjadi M, Sidik Jari Sistem Henry Sistem Baru Yang Diperluas, Politeia, Bogor, 1976. Hal 1
[5] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Sapta Arthajaya, Jakarta, 1984, hal. 13
[6] Materi Rakernis Sie Iden Dit Reskrim, 11 Agustus 2003, hal. 3
[3] VADEMIKUM TINGKAT I POLRI, halaman 467-468